Three-point lighting (tiga titik pencahayaan) adalah metode standar pencahayaan yang digunakan dalam video, film, fotografi, dan lainnya. Metode ini adalah sistem dasar pencahayaan yang digunakan secara luas karena sederhana dan dapat menonjolkan subyek dari latar belakang.
Dengan menggunakan tiga posisi terpisah, kita dapat menerangi subyek dan juga mengendalikan (atau menghilangkan seluruhnya) bayangan yang dihasilkan oleh pencahayaan langsung. Tiga komponen dari pencahayaan tiga titik adalah key light, fill light, dan back light.
Key light adalah cahaya terkuat dan paling penting dari tiga cahaya yang digunakan dalam teknik ini. Sumber cahaya ini ditempatkan di antara sisi kamera dan subjek sedemikian rupa (biasanya membentuk sudut 45o) sehingga satu sisi subyek akan terang, tetapi sisi lain agak gelap. Key light adalah yang membuat subyek nampak tetapi menghasilkan gambar yang tidak alami dan memiliki kontras yang tinggi.
Fill Light
Fill light digunakan sebagai sumber cahaya kedua untuk key light dan ditempatkan di sisi berlawanan dari subyek. Sumber cahaya ini tidak seterang key light, karena hanya digunakan untuk mengisi bayangan yang dihasilkan key light. Fill light membantu mengurangi kontras yang dihasilkan oleh key light sehingga gambar lebih terlihat natural.
Back light ditempatkan di belakang subyek dan digunakan untuk pencahayaan subyek dari belakang. Back light bisa lebih terang atau lebih redup dari key light; sumber cahaya ini akan memberikan highlight yang cukup pada subyek dan memisahkan subyek dari latar belakang. Back light menambah kedalaman gambar, sehingga membuat tampilan gambar menjadi tiga dimensi.
Variasi
Meskipun teknik 3 titik pencahayaan ini paling efektif bila memiliki tiga sumber cahaya yang digunakan, variasi juga dapat dibuat dengan teknik tersebut untuk mengakomodasi berbagai situasi tertentu atau hanya untuk sekedar tujuan artistik. Jika kita hanya memiliki cahaya tunggal, maka cahaya tersebut adalah key light kita. Jika memiliki dua sumber cahaya, maka kita memiliki dua jenis pencahayaan, key light dan salah satu fill light atau back light.
Baru-baru ini Sony resmi meluncurkan kamera terbarunya yaitu Sony FX3. Target yang ingin dibidik oleh Sony adalah para kreator yang ingin mengeksplorasi kebebasan sinematik.
FX3 merupakan kamera yang mengkombinasikan teknologi sinema digital Sony dengan berbagai fitur pencitraan terdepan dari kamera mirrorless Alpha ini untuk menciptakan tampilan sinematik yang luar biasa.
FX3 menghadirkan tampilan sinematik dan pengoperasian serta keandalan profesional dalam satu perangkat yang menjawab kebutuhan para kreator muda yang mencari cara baru untuk mengekspresikan visi kreatif mereka. Model terbaru ini memberikan kualitas gambar dan kegunaan menakjubkan untuk pengambilan gambar berskala kecil dan sendiri.
Kamera FX3 menawarkan performa fokus kelas atas, stabilisasi gambar optik, didesain untuk perekaman video secara handheld dan pembuangan panas yang terdepan untuk waktu perekaman yang lebih lama. Semua ini dibalut dalam bodi yang simple dan ringan, memberikan performa serta mobilitas untuk memenuhi permintaan para kreator konten yang saat ini terus meningkat.
President Director PT Sony Indonesia, Kazuteru Makiyama menerangkan, bahwa kamera FX3 ini memang dirancang untuk mewujudkan ide kreatif menjadi kenyataan. Kamera ini memungkinkan para kreator untuk merealisasikan ekspresi visual mereka ke dalam dunia sinema melalui konten yang imersif. “Kami akan terus mendukung para kreator dunia melalui Rangkaian Cinema Line dari Sony,” imbuhnya.
Sony fx3 ini akan mulai dipasarkan pada bulan maret mendangan dan akan dibandrol dengan harga $3.899,99 dollar AS atau sekitar Rp 55,8 Juta Rupiah.
Sensor CMOS Exmor R™ back-illuminated full-frame dengan 10.2 megapiksel dan mesin pengolahan gambar BIONZ XR™
Sensitivitas sangat tinggi dengan ISO yang dapat ditingkatkan hingga 409.600 untuk kondisi pencahayaan yang sangat sulit dan 15+ stop dynamic range
Profil tampilan S-Cinetone™ terinspirasi dari colour science kamera sinema digital VENICE yang juga digunakan pada kamera Cinema Line FX9 dan FX6, serta merekam hingga 4K 120p
Desain bodi yang ringkas dan ringan dengan pengoperasian tinggi untuk pengambilan gambar dengan handheld, gimbal dan pemasangan pada drone
Bodi yang dilengkapi multi-thread (1/4-20 UNC) memudahkan untuk pemasangan aksesori
Unit pegangan XLR yang dapat dilepas diengkapi dengan dua input audio XLR/TRS
“Mode Aktif” stabilisasi gambar mendukung perekaman film secara handheld
Fast Hybrid Auto Focus, Touch Tracking (pelacakan real-time) dan Real-time Eye AF juga digunakan di kamera Alpha™ lainnya
Perekaman 4K 60p tanpa gangguan (Lanjutan) karena didukung pembuangan panas yang efektif dan kipas pendingin internal
TIPE SENSOR Full frame 35mm (35,6 x 23,8 mm), sensor CMOS Exmor R
PIKSEL 10,2 megapiksel (efektif) untuk film, 12,1 megapiksel (efektif) untuk Gambar diam, Sekitar 12,9 megapiksel (total)
SENSITIVITAS [Merekam Video] Setara ISO 80-102400 (Angka ISO hingga ISO 409600 dapat disetel sebagai rentang ISO diperluas.), OTOMATIS (ISO 80-12800, batas bawah dan batas atas dapat dipilih), [Gambar diam] ISO 80-102400 (Angka ISO dari ISO 40 hingga ISO 409600 dapat disetel sebagai rentang ISO diperluas.), OTOMATIS (ISO 80-12800, batas bawah dan batas atas dapat dipilih)
TIPE MEDIA CFexpress Tipe A/Kartu SD (x2), Simultan Perekaman Simultan, Alihkan Media Otomatis, Salin
LCD 7,5 cm (tipe 3.0) tipe TFT, sekitar 1,44 juta titik, Sudut Bukaan: Sekitar 176 derajat, Sudut Rotasi: Sekitar 270 derajat
Dalam sebuah produksi film dan video memakan waktu yang cukup panjang dan kompleks, karena produksi pembuatan film dan video harus melalui beberapa tahapan seperti praproduksi, produksi, dan pasca produksi. Dengan begitu banyak orang yang terlibat didalamnya menyatukan sebuah visi dan misi akan menjadi tantangan menarik yang ada dalam sebuah produksi film dan video.
Sangat disayangkan jika para pelaku dibalik layar tersebut malah tidak mendapatkan apresiasi sama sekali. Nah oleh sebab itu kebanyakan production house mengakalinya dengan membuat Behind The Scene untuk menangkap segala moment yang terjadi saat produksi.
Dalam proses produksi pembuatan video dengan banyaknya orang, akan sangat memungkinkan memunculkan banyak hal yang lucu dan berkesan. Tidak hanya itu, biasanya dalam film dan video ada bagian yang sengaja dipotong dan dijadikan bahan behind the scene di bagian akhir. Nah, behind the scene ini sangat banyak manfaatnya. Konten behind the scene justru memiliki keunikan tersendiri dan biasanya mampu membuat penoton lebih dekat dengan para pelaku dibalik layarnya. Jadi, behind the scene sangatlah penting dalam produksi pembuatan film dan video. Berikut adalah Pentingnya Behind The Scene Dalam Produksi Film dan Video.
Konten Untuk Publikasi Dan Promosi
Promosi dengan teaser dan trailer adalah hal yang umum dilakukan di dunia perfilman. Potongan-potongan adegan dalam film disusun dalam durasi pendek sekitar 60-90 detik untuk menggaet penonton. Lalu bagaimana dengan video behind the scene? Apakah bisa menjadi konten promosi? Jawabannya adalah bisa. Dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda dengan hasil filmnya saja, sudah sangat menarik perhatian.
Biasanya di video behind the scene juga ada wawancara dengan para pelaku yang terlibat dalam film dan video yang sudah melalui tahapan praproduksi hingga pascaproduksi. Sudut bercerita yang berbeda dan visual yang berbeda sangat bisa dijadikan konten untuk promosi dan mempublikasikan film dan video kalian.
Melihat Sisi Lain Dari Film dan Video
Jika menonton film, kalian hanya akan disuguhkan dengan visual ciamik yang membuat terpukau, bagaimana jika kalian melihat proses pembuatannya dari balik layar? Kalian akan melihat bahwa di balik visual yang sangat memukau mata kalian, ada orang-orang yang sangat bekerja keras, mulai dari membuat shot list, storyboard, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu saja, kalian bisa lihat di balik akting yang bagus, ada seorang sutradara yang mengarahkan pemain dengan baik dan jelas, ada locman yang turut mengatur jalanan demi terciptanya jalanan yang sepi tanpa lalu lalang kendaraan, dan juga divisi lainnya.
Melihat Kedekatan Dan Kekompakan Kru Serta Para Pemain
Usai menonton film, mungkin ada beberapa scene yang membekas di kepalamu. Misalnya visual yang sangat bagus, akting pemain yang sangat keren, dan lain-lain. Kalau sudah begitu, kalian harus dan pasti mencari video behind the scene film tersebut. Kalian akan bisa mengulik bagaimana kerja dan kegiatan mereka di balik layar dengan lebih detil. Misalnya kalian bisa melihat kedekatan para pemain dengan kru, keakraban pemain satu dan pemain lainnya, kekompakan kru dalam menciptakan sebuah set, atau hal-hal konyol yang terjadi antara kru atau para pemain.
Sebagai Media Untuk Belajar
Setelah menonton film, mungkin kalian bertanya-tanya, “ini kok bisa begini ya?”, atau pertanyaan-pertanyaan lainnya. Nah, ini dia manfaat dari video behind the scene. Di dalam video behind the scene kalian akan melihat proses para kru melakukan pengambilan gambar. Kalian akan melihat bagaimana tiap divisi bekerja, dan bahkan bisa belajar tentang tipe-tipe sudut pengambilan gambar, kamera apa yang digunakan, pergerakan kamera, lighting, dan lain-lain.
Jadi, setelah mengetahui manfaat dari video behind the scene apakah kalian juga tertarik ingin membuatnya?, yuk terus berkreasi… see yaaa
Little Richard pernah berkata, “It’s not the size of the ship; it’s the size of the waves.” Penting untuk kita memahami perbedaan ukuran sensor kamera di tengah teknologi kamera yang sangat berkembang saat ini. Ini akan sangat menentukan tampilan yang ingin kamu ambil nantinya sebagai sinematografer.
Produsen kamera terus mengembangkan kiprahnya diseputar kemajuan teknologi dan strategi pemasaran mereka. Mereka memadukan gambar diam dan kamera video, menambahkan megapiksel, 4K, 6K, 8K, rentang yang lebih dinamis, dudukan lensa baru, ukuran sensor yang lebih besar, dan memutar berbagai hal menjadi terminologi yang agak membingungkan dan seringkali menyesatkan.
Untungnya, Media Division telah mengumpulkan penjelasan hebat tentang ukuran sensor gambar (1/3 ″ ke IMAX), mulai dari sejarahnya dan sampai bagaimana pengaruhnya terhadap kualitas, komposisi, dan persepsi gambar yang akan Anda ambil.
kali ini kita akan fokus pada perbedaan antara Super 35mm dan Full Frame, tetapi tidak ada salahnya untuk menonton penjelasan dari media division tentang perbandingan dari setiap ukuran sensor di bawah ini.
Penting untuk diperhatikan bahwa ukuran sensor hampir tidak ada hubungannya dengan resolusi – itu adalah topik yang lain. Namun, sensor yang besar memungkinkan pitch piksel yang lebih besar (reseptor lebih besar) yang dapat menghasilkan gambar yang lebih bersih dengan kemampuan Low-Light yang lebih baik.
Super 35mm
– Crop Factor: 1.4-1.6x
– Approximate Sensor Size: 24x14mm
– Decent Depth-of-Field
– Adequate Dynamic Range
– Good Low-Light Capabilities
Sensor digital Super 35 (S35) adalah keluarga dengan berbagai ukuran dan terkadang kita dibuat bingung dengan sensor APS-C di DSLR. Setiap pabrikan membuat kamera mereka dengan ukuran sensor yang sedikit berbeda tetapi mereka tetap menyebutnya Super 35.
Misalnya, ARRI Alexa memiliki sensor berukuran 4: 3, 23,8 x 17,8mm. Canon C200 menggunakan sensor 16: 9 pada 24,6 x 13,8 mm. Panasonic memberi EVA-1 sensor 4: 3 pada 24,89 x 18,66 mm. Blackmagic dengan 23,1 x 12,99 mm di BMPCC 6K. Semua ini dipasarkan sebagai Super 35, tetapi jika Anda memasang lensa yang sama pada masing-masing kamera ini, Anda akan mendapatkan sedikit variasi dalam image crop.
Dan seperti yang Anda lihat, sebenarnya tidak ada 35mm di situ.
Istilah ‘Super 35’ berasal dari kamera film 35mm. Secara khusus, Super 35 mengacu pada metode pemanfaatan ruang pada film 35mm yang biasanya disediakan untuk trek audio optik untuk menangkap gambar yang lebih besar. Ini telah ada dengan satu cara atau lainnya sejak 1950an dan juga telah melalui sejumlah terminologi, dan juga perubahan ukuran.
Saat ini, kami umumnya menerima Super 35 yang berarti gambar memiliki faktor krop 1,4-1,6x dari pencitraan Bingkai Penuh.
Full Frame
– Crop Factor: 1x
– Approximate Sensor Size: 36x24mm
– Outstanding Depth-of-Field
– Excellent Dynamic Range
– Superior Low-Light Capabilities
Full Frame (umumnya 36 x 24mm tetapi bervariasi, sekali lagi, dari pabrikan dan bahkan model kamera) menemukan asalnya dari kamera diam 35mm yang baru mulai masuk ke dunia video / film dengan penambahan fitur video di Canon 5D Mark II (sekitar 2008). Sekarang ada banyak sekali penawaran kamera DSLR Full Frame dengan fitur video yang memotret gambar-gambar indah, dan pasar kamera kelas atas mengikuti, men-dubbing sensor besar ini dengan Format Besar atau LF.
Ini adalah cerita yang sama dengan LF juga – ini adalah istilah pemasaran dan ada beberapa kamera di luar sana dengan sensor berukuran sedikit berbeda dan lebih banyak lagi yang diberi nama LF.
Jika Anda memasang lensa yang sama ke kamera dengan sensor Full Frame vs satu dengan sensor Super 35, kamera Super 35 akan memberi Anda gambar yang ~ 1,5x diperbesar secara optik. Lensa panjang fokus 24mm akan memiliki kesetaraan 36mm. Panjang fokus 35mm menjadi 52,5mm. Lensa nifty-lima puluh (50mm) kesayangan itu sekarang menjadi lensa 75mm, dan seterusnya.
Tetapi ini tidak hanya berarti Anda harus melangkah lebih jauh dan lebih jauh ke belakang saat menyusun komposisi pengambilan gambar. Full Frame memiliki tampilan dan nuansa yang sangat berbeda dari Super 35, dan Anda dapat melihat perbedaannya dalam rekaman Anda.
Full Frame terlihat lebih akrab bagi kita karena secara optik lebih mirip dengan bagaimana mata kita melihat dan kita memproses gambar-gambar itu dalam pikiran kita. Ada kedalaman fokus yang lebih dangkal (hal-hal yang lebih buram di latar belakang, juga disebut bokeh), dan itu memungkinkan kita untuk fokus pada (secara harfiah mengisolasi) orang atau objek yang kita ingin agar diperhatikan oleh audiens kita dalam Frame kita. Kamera bisa lebih dekat ke subjek, memberikan kesan yang lebih intim pada gambar yang dihasilkan. Gambar lebih bersih, sering kali menawarkan eksposur yang lebih baik dalam situasi cahaya redup, dan rentang dinamis yang lebih tinggi.
Super 35 secara klasik lebih kita kenal sebagai format sinematik, gambar yang dihasilkan seperti yang biasa kita lihat di teater. Itu tidak memiliki depth-of-field yang dangkal, dan itu membuatnya lebih mudah untuk fokus saat merekam. Lebih banyak objek berada dalam fokus dan pemirsa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari Frame yang lebih besar. Tetapi ada juga lebih banyak distorsi optik yang terlihat pada lensa lebar seperti chromatic aberration dan barrel distorsi karena Anda harus menggunakan lensa yang lebih lebar yang di-crop untuk mendapatkan framing yang sama.
Terakhir, Anda harus memilih ukuran sensor untuk tampilan yang ingin Anda ambil, dan jenis proyek yang akan Anda rekam. Seiring bertambahnya ukuran sensor, lensa dan peralatan yang dibutuhkan cenderung membesar juga. Jika Anda merekam film naratif bernaskah yang mungkin tidak menjadi masalah, tetapi jika Anda membuat film dokumenter run-and-gun, perlengkapan yang lebih kecil dan lebih ringan akan membuat segalanya lebih mudah.
Bagaimana menurut kamu apakah kamu lebih suka sensor full-frame atau super 35? Bisa kah kamu membedakannya?
Lama dinanti-nanti, Sony akhirnya memperkenalkan kamera mirrorless terbarunya dari seri full-frame A7S, yakni A7S Mark III. Kamera ini adalah seri terbaru dari kamera sony seri A7S dan A7S MARK II.
Sony A7S Mark III ini menggunakan sensor full-frame EXMOR R CMOS backside-illuminated (BSI), masih dengan resolusi 12 MP seperti dua model terdahulunya. Sensor tersebut dipasangkan dengan prosesor gamber Bionz XR.
Lini A7S memang mengutamakan kinerja low-light dan video sehingga resolusi sensornya tidak setinggi seri sony lainnya yaitu A7 maupun A7R. Meskipun demikian, A7S Mark III sanggup merekam video 4K dengan tingkat sensitivitas hingga ISO 409.600. WOW…
Kamera ini juga dapat merekam video 4K dengan frame rate 120 FPS dan video HLD HDR 10-bit 4:2:2 didalam kamera, atau video 16-bit RAW di recorder eskternal via HDMI. Sony turut mengklaim bahwa A7S Mark III memiliki rentang dynamic range hingga lebih dari 15 stop. Color profile yang didukung mencakup S-Gamut, S-Gamut 3, dan S-Gamut3.Cine. Ada juga dukungan format video XAVC HS dengan codec H.265 yang lebih efisien, sebagaimana dihimpun GSM Arena.
Sistem autofokus A7S Mark III mengandalkan 759 titik phase-detect AF yang mencakup 92 persen area frame. Kecepatan burst yang mampu dihasilkan adalah 10 frame per detik, dengan fitur eye AF yang bisa digunakan baik di mode foto maupun video.
Seperti A7S Mark II sebelumnya, sensor A7S Mark III memiliki sistem In-Body Image Stabilizer (IBIS) 5-axis yang disebut mampu menghasilkan kompensas guncangan hinggga 5.5 stop.
Untuk pertama kalinya dijajaran kamera mirrorless full frame Sony, A7S Mark III mengusung layar sentuh 3inch dengan engsel fully articulated yang mengayun ke arah samping, dan dapat berputar ke segala arah, termasuk menghadap ke depan.
Electronic Viewfinder memiliki resolusi setinggi 9,44 MP dengan panel OLED.Tak ketinggalan, ada dua card slot yang masing-masing bisa dipasangi kartu memori jenis SDXC/ SDHC UHS-II atau CFexpress tipe A.
A7S Mark III kini menggunakan baterai NP-FZ100 seperti A7 Mark III dan A7R Mark III. Daya tahan baterainya diklaim hingga 60% lebih lama dibanding seri terdahulunya yaitu A7S Mark II.
Sony berencana mulai memasarkan kamera A7S Mark III ini pada bulan September mendatang. Sony membandrol kamera A7S Mark III tersebut dengan Harga $3.500 dollar AS atau Rp 51,2 juta rupiah (body only).
Lensa merupakan salah satu instrumen penting yang menjadi kunci untuk menghasilkan video dan foto yang berkualitas. Saking pentingnya, lensa dibuat menyesuaikan kebutuhan penggunannya. Jadi kalau ingin membuat video yang berkualitas pastikan kamu memakai cinematic lens.
Cine lens atau lensa sinematik adalah lensa yang dibuat dan didesain khusus untuk memenuhi kebutuhan para filmmaker. Maklum saja, karena kebutuhan mereka jauh berbeda dengan para fotografer yang dimana mereka merekam gerakan secara terus menerus dan dengan kualitas yang distandarkan untuk videografi. Dari segi bodi dan teknologinya pun melebihi lensa foto biasa, begitupun harganya xD.
Dari segi desain, cine lens sangat memuaskan dengan tampilannya yang compact. Kesan profesional didapat dari eksterior lensa yang dilengkapi penanda, adjustment rings manual untuk aperture, zoom dan focus. Selain cantik dilihat, desainnya dibuat khusus untuk mengatasi masalah yang biasanya ditemui fotografer saat memotret dengan lensa still.
Bodi kokoh, Ukuran dan Berat Lensa
Lensa sinematik dibuat untuk pemakaian kelas berat, biasanya bodynya full metal yang tahan banting dibawa shooting ke kondisi yang paling ekstrim sekalipun, jadi lensa sinematik lebih besar dan berat dibanding lensa foto. Menariknya, cine lens sudah memiliki standar ukuran untuk diameternya. Jika diperhatikan, sebagian besar cine lens jauh lebih besar bagian depannya dibanding lensa still.
Alasan cine lens memiliki diameter yang sama adalah demi aksesoris yang bakal digunakan pada mereka. Semisal memakai ND filter untuk beberapa adegan kemudian mengganti lensa tanpa perlu repot-repot ganti filter juga. Jadi image yang dihasilkan bisa tetap sama karena tidak ganti filter.
Sedangkan berat yang sama artinya kamu dapat mengganti focal length berbeda dan tidak perlu re-balance stabilization system. Ring lebih besar (bagian depan) biasanya dilengkapi knop untuk fungsi-fungsi lain seperti jarak fokus dan aperture (ya, kebanyakan mengandalkan manual fokus supaya transisi fokus lebih smooth.
Kontrol fokus akurat
Salah satu fitur terpenting cine lens adalah kemampunnya untuk menjaga fokus pada subyek yang bergerak atau dengan smooth mengganti fokus dari satu subyek ke lainnya, subyek yang bergerak dalam adegan film harus selalu fokus dengan merotasi focus ring secara perlahan sembari mengikuti subyek bergerak. Ini sulit dilakukan dengan lensa still tapi bisa apik pada lensa sinematik. Selain itu, cine lens memiliki focus ring dengan penanda yang jelas dan hard stop di awal hingga akhir sehingga memudahkan akurasi dan melakukan fokus dengan mulus meski tanpa focus system. Selain itu, focus ring di cine lens bisa diputar 270 derajat mulai dari minimum hingga jarak tak terhitung (infinity). Kemampuan fokus juga lebih steady, jadi tidak ada goyang-goyang halus (focus breathing) yang biasanya terjadi jika memakai lensa still.
Beberapa Cine lens juga memiliki parfocal lens yang mampu mengunci fokus pada subyek meski di-zoom in. Jika pakai lensa still, proses zoom in dan zoom out membutuhkan re-focus yang biasanya tidak akurat. Jadi dengan cine lens maka proses zoom in dan zoom out bisa smooth tanpa ganti fokus.
Kontrol Light dan Aperture
Tidak seperti lensa lainnya, cine lens tidak sekedar soal mengontrol aperture.Cine lens memiliki ring iris dengan penanda T-stop (lawannya f-stop) yang memberikanmu pengukuran pasti soal jumlah cahaya yang memasuki lensa, dibanding seberapa lebar bukaan lensa.
Lensa ini memiliki fitur kontrol manual exposure berpresisi tinggi dan memungkinkan menjaga exposure di setiap adegan, tak peduli kondisi cuaca dan paparan saat shooting, ring iris juga click-less, jadi kamu tidak akan terganggu saat adjusting aperture dan mengubah exposure.
Kontrol Zoom Internal
Seperti lensa profesional pada umumnya, kamu bisa zoom in dan zoom out dengan memutar ring zoom di bodi cine lens. Enaknya lagi, panjang lensa tidak berubah saat diputar seperti lensa still. Jadi hanya jerohannya saja yang bekerja, kemampuan ini sangat menguntungkan untuk filmmaker karena camera rig mereka selalu berada dalam sistem stabilizer yang bakal repot jika focal length berubah-ubah panjangnya (alamat harus setting keseimbangan lagi).
Zoom ring-nya pun dijamin selalu smooth dan memberikan transisi focal distance yang berbeda-beda dengan sama mulusnya.
Kualitas Optik yang Luar Biasa
Kualitas optik sebuah lensa sangat bergantung pada kualitas kaca. Lensa foto premium biasanya terbuat dari kaca high-end dan begitu juga untuk lensa videografi, lensa sinematik mungkin terlihat sama saja dengan lensa still tapi akan baru terlihat perbedaannya saat dikondisi pencahayaan yang kurang baik.
Kaca pada cine lens memungkinkan kamu untuk mengambil gambar dalam kondisi pencahayaan yang buruk, misalnya di bawah sinar terik atau kontras tinggi. Meski mungkin ada sedikit perbedaan warna dan kontras pada merk yang berbeda namun lensa sinematik dari brand sama hasilnya cenderung konsisten. Selain itu cine lens menghasilkan kejataman yang rata hingga ke bagian pojok image dan mengurangi chromatic aberration, distorsi dan vignetting yang biasa terdapat pada video, poin lainnya yang bikin cine lens disukai adalah kemampuannya menghasilkan bokeh yang cantik dan flare cahaya yang indah.
Cine Lens vs Lensa lain
Harga dan Value
Soal performa memang memukau, tapi soal harga benar-benar menguras kantong untuk memiliki cine lens. Kelas premium bisa mencapai harga USD 100.000 alias Rp 1,3 milyar. Tak heran kebanyakan filmmaker memilih menyewa lensa sinematik ini dari pada membelinya sendiri.
Tapi juga ada versi “murah” kok seperti lensa pseudo-cine dan lensa cine-mod. Itu sebenarnya lensa foto digital yang dimodifikasi sehingga memiliki fungsinya mirip cine lens dan bisa digunakan pada DSLR, mirrorless dan kamera compact dengan hasil yang cukup memuaskan.
Ada Cine Lens yang murah nggak sih?
Jawaban singkatnya: tidak.
Namun dengan mengerti karakteristik lensa cinematic, Anda dapat mengerti hal-hal apa saja yang biasanya diperlukan oleh filmmaker (dalam hal ini tentang lensa) :
Yang pertama adalah penggunaan manual focus. Hal ini begitu penting, apalagi jika lensa Anda bisa memberikan manual focus yang smooth, maka bersyukurlah Anda. Lebih bersyukur lagi jika lensa tersebut memiliki gerigi pada ring fokusnya, memungkinkan Anda memasang aksesoris tambahan seperti follow focus.
Berikutnya adalah perihal kemudahan. Lensa cinematic rata-rata akan dipadukan dengan stabilizer atau gimbal, karena itulah lensa cinematic mempermudah filmmaker dengan cara :
ukuran diameternya yang kebanyakan sama semua
penggantian diafragma atau f secara manual melalui lensa.
Dengan begitu, Anda tidak perlu repot-repot melepas kamera dari gimbal hanya untuk penyesuaian-penyesuaian sederhana seperti ganti filter lensa atau merubah bukaan lensa.